Jumat, 29 Mei 2009

Mutsaqqaf


Mutsaqqaf
Oleh Samson Rahman

Karakter yang seharusnya mengalir deras dalam jiwa pada aktivis dakwah, para murabbi, muwajjih, mua’allim, kiyai, guru, ustadz kaum muslimin secara umum adalah hendaknya mereka menjadi orang-orang yang mutsaqqaf. Yang mungkin bisa kita artikan orang-orang yang berbudaya, berperadaban, berpengetahuan luas, perpandangan mendalam dan memiliki ilmu yang luas dan cakrawala budaya yang mengufuk dan pikiran yang tercerahkan dan mencerahkan. Karakter ini menjadi demikian penting sebab pilar-pilar tegaknya peradaban manusia sangat tergantung pada manusia-manusia yang tercerahkan dan mencerahkan ini.
Arsitek pembangunan peradaban Islam di masa silam memiliki cakrawala peradaban yang kokoh dan kukuh, memiliki tiang penyanggah budaya yang ajeg. Mereka membangun pondasi peradabannya dengan ilmu dan amal, dengan iman dan pikiran. Spirit memburu pengetahuan, membangun peradaban dan budaya yang mengaliri nafas gerak merekalah yang membuat kaum muslimin menjadi guru peradaban dunia, dan menjadi kiblat mereka. Dunia merasa berhutang budi pada generasi-generasi Islam yang tercerahkan dan mencerahkan itu. Bahkan tak ada sepetak tanahpun yang tidak mencicipi ranum manisnya menu ilmu pengetahuan yang disajikan kaum muslimin yang mutsaqqaf tadi di panggung peradaban dunia. Sebelum renaisans muncul di Eropa dan menggemparkan dunia, dunia Islam dengan manusia-manusia terpelajarnya telah mampu memanggungkan orkestra paling indah dan mengagumkan dunia. Mereka memiliki semangat menuntut ilmu yang extra-ordinary, semangat ekploratif yang sulit dikata.
Semangat tinggi inilah yang membuat Eropa berguru. Apa yang dikatakan oleh Dr. Briffault dalam bukunya The Making of Humanity yang sangat mengagumkan menyebutkan : It is highly probable that but for the Arabs modern European civilization would never have arisen at all. Sebuah pengakuan bahwa tanpa peradaban Islam yang maju mungkin hingga kini Eropa masih tengkurap dalam masa kegelapan yang menggelapkan hati dan pikiran mereka.
Kita memang tidak seharusnya terlalu larut dengan masa lalu yang indah dan penuh pesona, dengan kejayaan masa silam yang telah menjadi bagian dari sejarah, masa silam yang telah menjadi legenda. Kita memang tidak boleh membanggakan nenek moyang kita yang telah berkalang tanah walaupun kita tetap harus senantiasa menghormati dan mengenang jasa-jasanya. Kita hidup di hari ini dengan problema dan masalah hari ini. Masa lalu telah berlalu, masa depan menanti kita dan kita harus sibuk dengan aktivitas di hari ini. Kenanglah masa lalu hanya sebagai kenangan dan rancanglah masa depan sebagai rancangan namun kita hidup di hari ini dan detik serta menit ini.
Dan manusia hari sangat membuat orang-orang yang mutsaqqaf dengan sekian ilmu yang bisa dia kuasai, dengan sejumlah pengetahuan yang harus dimengerti. Zaman modern membutuhkan sosok ilmuan-cendikia, dan ulama-amilin yang menarik gerbong peradaban dunia dengan ilmu dan amal, dengan hati dan pikiran.
Saat saya akan menulis tulisan ini saya sempat mencari-cari sebuah buku yang pernah menyadarkan saya akan betapa pentingnya tsaqafah bagi seorang dai yang ditulis oleh seorang ulama level dunia, Yusuf Al-Qardhawi, yang berjudul Tsaqafat al-Da’iyah. Buku ini memaparkan dengan sangat rinci apa saja amunisi ilmu yang harus dimiliki oleh seorang dai.
Al-Qardhawi menegaskan bahwa sangat tidak layak bagi seorang dai untuk tidak memiliki ilmu tentang Al-Quran dan tafsirnya yang mengantarkannya pada pengetahuan bahwa Al-Quran memiliki kemukjizatan yang tanpi tanding, dia abadi, universal. Seorang dai yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang Al-Quran dan tafsir akan gampang melihat kebenaran dan kebatilan. Seorang dai juga seharusnya tahu banyak tentang sunnah Rasulullah dalam kedudukannya sebagai penjelasan dari Al-Quran yang mulia. Penyakit yang mungkin banyak menimpa kalangan dai-muballigh adalah minimnya pengetahuan mereka tentang dua sumber utama Islam ini namun memiliki semangat menyampaikan yang sangat tinggi. Sehingga yang muncul adalah para dai dengan amunisi yang “itu-itu saja” saja, dengan dalil-dalil dari Al-Quran yang tidak pernah bertambah. Namun dia sibuk ke sana kemari dengan ilmu yang sangat terbatas namun dengan semangat yang menggebu-gebu. Dai semacam ini lebih banyak mengeluarkan daripada memasukkan, sehingga mata air ilmunya suatu saat akan terasa kering dan tidak menyegarkan.
Seorang dai yang sebenarnya pasti tahu bahwa dirinya adalah sinar yang diharapkan, dia adalah dian yang dinantikan. Akan menjadi sangat riskan jika sinar dan cahaya yang dinantikan itu ternyata “redup” di dalam dan tak mampu tumbuh subur secara internal. Dai yang minim pengetahuannya tentang Al-Quran dan sunnah akan menjelma menjadi dai-dai entertainment yang kering dari nuansa rabbani. Dai-dai yang tidak menguasai hadits Nabi akan bicara dengan menggunakan dalil-dalil akal yang setiap orang juga bisa mengatakan. Dua kunci inilah yang seharusnya dimiliki oleh para dai agar dakwah benar-benar dakwah dan bukan “obrolan” tanpa landasan.
Setelah dia hal ini dikuasai dengan baik, maka tak apalah beranjak ke bidang fikih, ushul fikih, tasawwuf dan sejarah.
Di samping itu juga hendaknya dia menguasai ilmu bahasa dan sastra agar cara berucapnya menjadi indah dan penuh pesona. Seorang dai dengan “gizi”sastra yang buruk akan sulit menarik para pendengarnya untuk bisa hanyut dalam dakwah-dakwahnya.
Jangan lupa bahwa seorang dai adalah orang yang paling sering berhadapan dengan manusia maka adalah kewajiban dia untuk tahu ilmu humaniora sehingga apa yang dia bicarakan menyentuh masalah-masalah yang mereka hadapi. Makanya, seorang dai harus bisa ilmu jiwa, harus mengerti sosiologi, jangan lupa pula mengerti filsafat, ilmu akhlak.
Dan yang sangat penting seorang dai harus mengerti “map” realitas dunia saat ini. Dia harus mengerti realitas kaum muslimin, kekuatan dunia yang pro dan anti Islam, realitas agama-agama dunia, aliran-aliran politik yang kini sedang manggung di panggung dunia, kondisi gerakan-gerakan Islam kontemporer dan gerakan-gerakan yang memusuhi serta menghambat gerakan Islam juga gerakan-gerakan sempalan yang merusak citra Islam dan kondisi regional.
Seorang dai diharapkan menjadi “semi-ensiklopedi” berjalan yang mampu memberikan jawaban-jawaban, minimal instan, terhadap masalah-masalah umat ini. Dan itu tidak bisa tidak harus dilakukan dengan tatsqif dzati yang terus menerus sehingga kemudian menjadikannya seorang yang mutsaqqaf. Jangan lagi ada dai dengan semangat tinggi namun miskin amunisi, karena dai semacam ini lebih banyak bahayanya daripada mamfaatnya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda