Jumat, 29 Mei 2009

Kuat Cerdas dan Berdaya

Kuat Cerdas dan Berdaya
Oleh : Samson Rahman

Ketika Thalut yang tidak berharta dibursakan oleh Allah untuk menjadi raja dan panglima perang di tengah Bani Israil melalui berita yang dibawa nabi-Nyaberbagai protes datang berhamburan. Mereka protes bahwa pembursaan yang sedang diwacanakan oleh nabi mereka adalah sebuah tindakan yang tidak realistis dan bahkan cenderung mengabaikan kondisi riil yang ada di tengah mereka. Mereka menganggap bursa pimpinan yang sedang dimunculkan itu adalah sebagai taktik para Nabi mereka agar pemilik modal dan terpandang disingkirkan secara halus dan dipinggirkan dengan membawa-bawa wahyu Allah. Simaklah bagaimana mereka melakukan protes itu yang diabadikan Al-Quran : Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israel sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang." Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?" Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang dzalim. Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang banyak?" (Nabi mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui (Al-Baqarah : 246-247).

Logika Bani Israil berbeda dengan logika Allah dalam hal pengangkatan raja dan panglima perang di tengah mereka. Bani Israel melihat bahwa yang pantas menjadi mereka adalah seorang yang memiliki jalur darah raja dan memiliki kekayaan yang cukup. Sementara dalam pandangan Allah yang pantas menjadi raja dan panglima perang bagi bangsa Israel yang “bandel” adalah sosok yang kuat, tegar berani, tringginas, tidak suka mengeluh, cekatan dan tentu saja tidak cengeng dalam menghadapi kehidupan yang akan sangat berat. Seorang raja dan panglima yang akan meminpin sebuah bangsa adalah seorang yang memiliki otak cemerlang, memiliki pandangan ke depan dan visionir, kreatif, inovatif dan tentu saja sosok yang istiqamah. Seorang raja dengan beban yang sangat berat, dengan masalah yang bejibun memerlukan syaraf baja, otak encer, hati jernih dan mata awas untuk melihat secara terus menerus perkembangan yang terjadi di sekitar dan di sekelilingnya. Adalah sebuah ketidakpantasan jika sebuah bangsa dikendalikan oleh seorang sosok lembek, telat mikir, peragu, mencla mencle, plin plan, dan maju mundur dalam pengambilan keputusan yang sangat strategis. Adalah kekurang cerdasan jika sebuah bangsa dikomandani oleh sosok penakut dan pengecut dalam meminpin bangsanya. Thalut yang kuat, cerdas dan visionir serta tegas sangat pantas menjadi orang nomer satu untuk sebuah bangsa yang sering membangkang, sering membandel dan menutup mata pada kebenaran. Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memilih Thalut menjadi raja dengan dua kriteria yang sangat khusus : ilmu luas dan tubuh yang perkasa. Ilmu luas sebagai pembuka cakrawala wawasan-visi dan strategis dan tubuh yang perkasa akan menjadikannya mampu melakukan mobilitas yang sangat cepat dalam menghadapi sekian banyak masalah yang akan dia hadapi.
Untuk seorang peminpin yang baik dan ideal ilmu merupakan syarat utama dalam mengarahkan bangsanya untuk menuju sebuah bangsa yang makmur-sejahtera. Dengan ilmu dia akan sangat fakih dalam memberikan jalan keluar bagi masalah pelik yang dihadapi bangsanya. Dengan ilmu dia akan mampu memberikan penerangan-penerangan di tengah gulita kebodohan yang dihadapi oleh rakyatnya. Tanpa ilmu dari seorang peminpin maka sebuah bangsa akan digiring pada tepian-tepian kehancuran yang selalu menganga. Tanpa ilmu seorang peminpin, sebuah bangsa akan meluncur ke lubang-lubang kebinasaan yang siap menelan siapa saja yang tidak tahu arah mana yang harus dijalaninya dalam kehidupan ini. Tanpa ilmu seorang peminpin maka sebuah bangsa akan berjalan di tempat atau bahkan mundur bertubi-tubi ke belakang. Inilah logika Allah dalam menentukan dan memilih seorang raja dan peminpin sebuah bangsa : Kuat-cerdas dan berdaya.
Masa depan kita tentu saja sangat banyak tergantung pada sikap dan cara melihat dan memperlakukan dunia ini. Tergantung cara dan sikap kita memberdayakan potensi yang Allah karuniakan kepada kita. Tergantung pada sikap kita dalam memberdayakan semesta yang Allah bentangkan untuk kita dan Allah siapkan untuk kita agar kita berdayakan dengan sebaik-baiknya. Tanda-tanda kebesaran Allah yang ada dalam diri kita hendaknya kita gali dan ledakkan potensinya ke ruang wujud yang mampu memberikan mamfaat bagi kita, orang lain dan seluruh penghuni semesta. Manusia yang mampu meledakkan energi keimanan yang ada dalam dirinya akan mampu menggenggam semesta ini dengan damai menentramkan setiap manusia.
Kita semua berhak dan bahkan wajib untuk senantiasa menempa diri agar menjadi seorang yang kuat dalam mengemban amanah, kuat dalam berpikir, kuat dalam menanggung tanggung jawab, kuat dalam visi semangat dalam menebarkan misi dan tak kenal lelah untuk berdaya dan memberdayakan. Allah, menurut Rasulullah, jauh lebih senang pada sosok mukmin kuat dan memandangnya jauh lebih baik daripada seorang mukmin yang loyo dan cepat lelah memikul beban hidup ini. Dunia ini hanya pantas dipimpin orang seorang peminpin yang kuat dari segala sisinya. Iman kuat, fisik kuat-kuat pikiran.
Tidak ada tempat bagi orang-orang lembek untuk mengendalikan dunia dengan roda perputarannya yang sangat cepat, dengan masalahnya yang menggunung, dengan kerumitan yang laksana benang kusut. Kembali saya tegaskan bahwa dunia ini hanya pantas dan rela dipimpin oleh sosok kuat-cerdas dan berdaya.

Dinamis tak Kenal Henti


Dinamis tak Kenal Henti
Oleh Samson Rahman

Hidup ini adalah dinamika. Bergerak dan terus bergerak. Sebab hidup itu sendiri adalah gerak. Tak bergerak berarti mati. Kehidupan membutuhkan gerakan-gerakan dinamis tanpa henti, tak kenal tempat dan waktu. Bahkan Allah dengan gamblang menyatakan pada kita bahwa Dia tidak akan pernah mengubah nasib sebuah kaum yang di dalamnya tidak ada dinamika perubahan dan tidak ada gerak perubahan yang terus menerus. Dinamika adalah sebuah kepastian dan tanpanya kehidupan menuju lubang kematian.
Dinamismelah yang menjamin sebuah keberhasilan dan statismelah yang mengakibatkan kehancuran. Dinamisme muncul dari adanya semangat tinggi untuk melakukan yang terbaik dalam hidup ini. Semangat untuk menyumbangkan pengabdian pada manusia dalam segala dimensinya. Semangat tinggi (himmah ‘aliyah) lah yang merombak cara pikir manusia dalam menyikapi kehidupan. Merombak sikap malas menjadi sikap rajin, sikap lambat menjadi sikap cepat, sikap lembek menjadi sikap penuh vitalitas, pikiran rancu menjadi jernih dan sistematis.


Dalam rentang sejarah kaum muslimin yang panjang dinamisme sikap mereka yang tanpa batas telah berhasil mengubah dunia. Para sahabat Rasulullah memiliki karakter dinamis yang sulit kita bayangkan. Sikap dinamis yang langka kita dapatkan dalam langkah-langkah pasti perjuangan mereka. Mereka adalah sosok-sosok trengginas yang senantiasa siap melakukan pembelaan terhadap agama Allah yang karenanya dalam jangka waktu sangat singkat Islam yang damai tersebar di penjuru dunia melalui tangan-tangan mereka.
Semangat memenangkan nilai-nilai kebenaran yang demikian lekat dalam jiwa mereka menjadikan mereka tanpa henti memompa dinamisme dirinya untuk membumikan nilai-nilai itu di mana saja dan pada siapa saja. Bagi mereka perjuangan adalah keringat, darah, air mata dan mungkin derita
Semangat menebarkan nilai-nilai kebenaran dan usaha penegakan keadilan dan membumikan rahmatlah yang menjadikan mereka bergerak laksana singa, mendobrak tembok-tembok kezhaliman, menggusur tirani-tirani dan kemungkaran. Tangan-tangan mereka adalah tangan-tangan cekatan yang rindu perubahan, pikiran-pikiran mereka adalah pikiran yang tercerahkan yang mengidealkan keadilan menjadi pemenang. Hati mereka jernih laksana pualam yang tidak bisa menerima kekotoran. Seluruh organ tubuh mereka siap beraksi untuk sebuah kejayaan. Dinamisme mereka tak mengenal kata henti.
Meminjam ungkapan Malik bin Nabi, seorang pemikir garda depan Al-Jazair, semangat juang para sahabat itu benar-benar diliputi dengan hati yang jernih yang mengendalikan akalnya sehingga mereka mampu membangun peradaban baru yang tiada cela. Semangat (hamasah) dinamis mereka bukan dikendalikan akal sehingga mereka tidak pernah membual dan menebar janji-janji yang tidak pernah ditepati. Ucapan mereka senantiasa lurus, perilaku mereka menjadi magnet yang menarik banyak manusia senang untuk senantiasa bersamanya. Taburan nilai langit yang mampu mereka bumikan telah menjadi magnet banyak orang untuk tertarik menganut Islam, dengan suka reka tanpa ada paksaan.
Di zaman ini manusia-manusia jujur dan penuh dedikasi pada nilai-nilai menjadi barang langka dan tidak diminati. Semangat menebarkan keadilan, kejujuran, kearifan, amanah, tanggung jawab menjadi hanya sebatas wacana dan hanya tertera di kertas-kertas bermeterai. Ada semacam kehampaan demikian dahsyat yang melanda sekian banyak lapis manusia :politikus, ekonom, budayawan, pendidik dan bahkan mungkin juga agamawan. Ada semacam kegamangan bagaimana menggulirkan nilai-nilai samawi itu menjadi sebuah realita di alam nyata. Tantangan untuk membumikan nilai-nilai itu demikian berlapis : ada tantangan budaya, ekonomi, tradisi, politik dan lainnya.
Kini saatnya kader-kader dakwah harus menerobos tembok-tembok tantangan itu dan menjelmakannya menjadi peluang. Semangat untuk mengubah dari sesuatu yang jelek pada yang baik, dari yang baik pada yang lebih baik, dari yang lebih baik pada yang terbaik.
Kemampuan kita mengelola tantangan menjadi peluang akan melahirkan generasi-generasi yang tercerahkan (al-jail al-munawwar). Kader-kader dakwah yang dinamis –meminjam Arnold J. Toynbee dalam Study of History—akan mampu merespon tantangan menjadi sebuah kekuatan besar yang melahirkan karya-karya emas peradaban dan diabadikan sejarah. Sejarah membuktikan bahwa peradaban-peradaban yang hingga kini bias survive dan bertahan adalah peradaban yang dalam dirinya memang ada kemampuan merespon tantangan (challenge and respond). Saya yakin bahwa setiap kader dakwah memiliki daya yang kuat untuk mengelola tantangan itu menjadi sebuah peluang.
Dalam Pilkada yang kini sedang marak-maraknya kita geluti, ada harapan besar agar kader dakwah dinamis, inovatif, kreatif dan realistis melihat dan mengelola tantangan itu. Kader dakwah yang dinamis akan mampu menjadi mesin penggerak bagi usaha-usaha memenangkan nilai-nilai samawi yang kemudian lahir dari tangan-tangan kreatif para kader.
Peran kita sedang ditunggu dan kita bertekad memuaskan mereka dengan peran-peran dinamis kita semua. Sekali kita bertekad, dengan tawakkal kita berangkat. Faidza ‘azamta fatawakkal ‘ala al-Allah.

Mutsaqqaf


Mutsaqqaf
Oleh Samson Rahman

Karakter yang seharusnya mengalir deras dalam jiwa pada aktivis dakwah, para murabbi, muwajjih, mua’allim, kiyai, guru, ustadz kaum muslimin secara umum adalah hendaknya mereka menjadi orang-orang yang mutsaqqaf. Yang mungkin bisa kita artikan orang-orang yang berbudaya, berperadaban, berpengetahuan luas, perpandangan mendalam dan memiliki ilmu yang luas dan cakrawala budaya yang mengufuk dan pikiran yang tercerahkan dan mencerahkan. Karakter ini menjadi demikian penting sebab pilar-pilar tegaknya peradaban manusia sangat tergantung pada manusia-manusia yang tercerahkan dan mencerahkan ini.
Arsitek pembangunan peradaban Islam di masa silam memiliki cakrawala peradaban yang kokoh dan kukuh, memiliki tiang penyanggah budaya yang ajeg. Mereka membangun pondasi peradabannya dengan ilmu dan amal, dengan iman dan pikiran. Spirit memburu pengetahuan, membangun peradaban dan budaya yang mengaliri nafas gerak merekalah yang membuat kaum muslimin menjadi guru peradaban dunia, dan menjadi kiblat mereka. Dunia merasa berhutang budi pada generasi-generasi Islam yang tercerahkan dan mencerahkan itu. Bahkan tak ada sepetak tanahpun yang tidak mencicipi ranum manisnya menu ilmu pengetahuan yang disajikan kaum muslimin yang mutsaqqaf tadi di panggung peradaban dunia. Sebelum renaisans muncul di Eropa dan menggemparkan dunia, dunia Islam dengan manusia-manusia terpelajarnya telah mampu memanggungkan orkestra paling indah dan mengagumkan dunia. Mereka memiliki semangat menuntut ilmu yang extra-ordinary, semangat ekploratif yang sulit dikata.
Semangat tinggi inilah yang membuat Eropa berguru. Apa yang dikatakan oleh Dr. Briffault dalam bukunya The Making of Humanity yang sangat mengagumkan menyebutkan : It is highly probable that but for the Arabs modern European civilization would never have arisen at all. Sebuah pengakuan bahwa tanpa peradaban Islam yang maju mungkin hingga kini Eropa masih tengkurap dalam masa kegelapan yang menggelapkan hati dan pikiran mereka.
Kita memang tidak seharusnya terlalu larut dengan masa lalu yang indah dan penuh pesona, dengan kejayaan masa silam yang telah menjadi bagian dari sejarah, masa silam yang telah menjadi legenda. Kita memang tidak boleh membanggakan nenek moyang kita yang telah berkalang tanah walaupun kita tetap harus senantiasa menghormati dan mengenang jasa-jasanya. Kita hidup di hari ini dengan problema dan masalah hari ini. Masa lalu telah berlalu, masa depan menanti kita dan kita harus sibuk dengan aktivitas di hari ini. Kenanglah masa lalu hanya sebagai kenangan dan rancanglah masa depan sebagai rancangan namun kita hidup di hari ini dan detik serta menit ini.
Dan manusia hari sangat membuat orang-orang yang mutsaqqaf dengan sekian ilmu yang bisa dia kuasai, dengan sejumlah pengetahuan yang harus dimengerti. Zaman modern membutuhkan sosok ilmuan-cendikia, dan ulama-amilin yang menarik gerbong peradaban dunia dengan ilmu dan amal, dengan hati dan pikiran.
Saat saya akan menulis tulisan ini saya sempat mencari-cari sebuah buku yang pernah menyadarkan saya akan betapa pentingnya tsaqafah bagi seorang dai yang ditulis oleh seorang ulama level dunia, Yusuf Al-Qardhawi, yang berjudul Tsaqafat al-Da’iyah. Buku ini memaparkan dengan sangat rinci apa saja amunisi ilmu yang harus dimiliki oleh seorang dai.
Al-Qardhawi menegaskan bahwa sangat tidak layak bagi seorang dai untuk tidak memiliki ilmu tentang Al-Quran dan tafsirnya yang mengantarkannya pada pengetahuan bahwa Al-Quran memiliki kemukjizatan yang tanpi tanding, dia abadi, universal. Seorang dai yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang Al-Quran dan tafsir akan gampang melihat kebenaran dan kebatilan. Seorang dai juga seharusnya tahu banyak tentang sunnah Rasulullah dalam kedudukannya sebagai penjelasan dari Al-Quran yang mulia. Penyakit yang mungkin banyak menimpa kalangan dai-muballigh adalah minimnya pengetahuan mereka tentang dua sumber utama Islam ini namun memiliki semangat menyampaikan yang sangat tinggi. Sehingga yang muncul adalah para dai dengan amunisi yang “itu-itu saja” saja, dengan dalil-dalil dari Al-Quran yang tidak pernah bertambah. Namun dia sibuk ke sana kemari dengan ilmu yang sangat terbatas namun dengan semangat yang menggebu-gebu. Dai semacam ini lebih banyak mengeluarkan daripada memasukkan, sehingga mata air ilmunya suatu saat akan terasa kering dan tidak menyegarkan.
Seorang dai yang sebenarnya pasti tahu bahwa dirinya adalah sinar yang diharapkan, dia adalah dian yang dinantikan. Akan menjadi sangat riskan jika sinar dan cahaya yang dinantikan itu ternyata “redup” di dalam dan tak mampu tumbuh subur secara internal. Dai yang minim pengetahuannya tentang Al-Quran dan sunnah akan menjelma menjadi dai-dai entertainment yang kering dari nuansa rabbani. Dai-dai yang tidak menguasai hadits Nabi akan bicara dengan menggunakan dalil-dalil akal yang setiap orang juga bisa mengatakan. Dua kunci inilah yang seharusnya dimiliki oleh para dai agar dakwah benar-benar dakwah dan bukan “obrolan” tanpa landasan.
Setelah dia hal ini dikuasai dengan baik, maka tak apalah beranjak ke bidang fikih, ushul fikih, tasawwuf dan sejarah.
Di samping itu juga hendaknya dia menguasai ilmu bahasa dan sastra agar cara berucapnya menjadi indah dan penuh pesona. Seorang dai dengan “gizi”sastra yang buruk akan sulit menarik para pendengarnya untuk bisa hanyut dalam dakwah-dakwahnya.
Jangan lupa bahwa seorang dai adalah orang yang paling sering berhadapan dengan manusia maka adalah kewajiban dia untuk tahu ilmu humaniora sehingga apa yang dia bicarakan menyentuh masalah-masalah yang mereka hadapi. Makanya, seorang dai harus bisa ilmu jiwa, harus mengerti sosiologi, jangan lupa pula mengerti filsafat, ilmu akhlak.
Dan yang sangat penting seorang dai harus mengerti “map” realitas dunia saat ini. Dia harus mengerti realitas kaum muslimin, kekuatan dunia yang pro dan anti Islam, realitas agama-agama dunia, aliran-aliran politik yang kini sedang manggung di panggung dunia, kondisi gerakan-gerakan Islam kontemporer dan gerakan-gerakan yang memusuhi serta menghambat gerakan Islam juga gerakan-gerakan sempalan yang merusak citra Islam dan kondisi regional.
Seorang dai diharapkan menjadi “semi-ensiklopedi” berjalan yang mampu memberikan jawaban-jawaban, minimal instan, terhadap masalah-masalah umat ini. Dan itu tidak bisa tidak harus dilakukan dengan tatsqif dzati yang terus menerus sehingga kemudian menjadikannya seorang yang mutsaqqaf. Jangan lagi ada dai dengan semangat tinggi namun miskin amunisi, karena dai semacam ini lebih banyak bahayanya daripada mamfaatnya.

LAA TAHZAN



La Tahzan : Inspiratif dan Solutif
Sepercik dari Kandungan Buku La Tahzan
Oleh Samson Rahman

La Tahzan (لاتحزن) adalah sebuah buku self help atau buku how too pertama yang ditulis dan diterima masyarakat muslim secara demikian menggugah, penuh inspirasi dan solusi. Ditulis dengan gaya penulisan new-klasik oleh seorang ahli hadits yang hafal Al-Quran tiga puluh juz, hafal 5000 hadits dan 1000 syair klasik maupun modern. Aid Al-Qarni, penulis buku ini adalah seorang penceramah dengan latar belakang akademis yang sangat bagus. Dia seorang doktor dalam bidang ilmu hadits dari Universitas Imam Ibnu Saud, Saudi Arabia.
Sejak buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 2001 oleh Penerbit Ibnu Hazm Beirut, selama dua tahun menjadi buku best seller yang tak terkalahkan. Buku ini telah terjual lebih dari sejuta eksemplar sejak diterbitkannya di Timur Tengah. Dan telah diterbitkan ke dalam berbagai bahasa, diantaranya ke dalam bahasa Inggris dengan judul Don’t be Sad.
Untuk kasus Indonesia, buku La Tahzan tak kalah serunya dalam menyerap pembeli dan sekaligus pembaca. Sejak diterbitkannya oleh Qisthi Press pada bulan September 2003 dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama La Tahzan buku ini juga menjadi buku paling laris dan telah dicetak ulang lebih dari tiga puluh sembilan kali. Bahkan bukan itu saja, buku ini telah dicetak oleh berbagai penerbit setelah muncul terbitannya oleh Qisthi Press dan setelah penerbit lain tahu bahwa buku ini telah melumat-lumat emosi dan gairah motivasi publik pembacanya. Sampai saat ini minimal yang saya ketahui ada empat penerbit lain yang menerbitkan buku yang sama: IBS Bandung, Maghfirah Pustaka Jakarta, At-Tibyan Solo, Sahara Jakarta. Sebuah persaingan yang sebenarnya kurang “enerjik” dalam penyajian buku kepada publik.
Buku ini berhasil menggugah dan mendapat respon besar karena telah berhasil memformat beberapa sari pati dari berbagai pandangan penulis yang dia gabung dalam satu buku dan menjelma menjadi karya tulisnya sendiri. Penulusuran yang mampu saya lakukan untuk mencari akar dari mana Al-Qarni mengambil inpirasi tulisan-tulisannya, ternyata saya dapatkan dari buku-buku berpengaruh di zamannya. Buku yang menjadi ilham bentuk penulisan Al-Qarni yang dalam pandangan saya amat mewarnai tulisannya dalam buku La Tahzan ini adalah buku Shaidul Khathir yang ditulis oleh Ibnul Jauzi dan buku Al-Faraj Ba’da Syiddah karya At-Tanukhi, untuk karya ulama klasik. Sementara buku modern yang sangat mewarnai dan menjadi inspirasi utama tulisan-tulisannya dalam buku ini adalah buku seorang penulis dan trainer terkemuka Amerika, Dale Carnegie yang berjudul How to Stop Worrying and Start Living. Tiga buku inilah yang sangat dominan mewarnai buku La Tahzan ini.
Karakter buku La Tahzan tidak dilahirkan untuk sebuah pelatihan sebagaimana buku Dale Carnegie, yang harus runut membacanya dari awal baru kemudian pindah pada bab selanjutnya, layaknya buku-buku pelatihan pada umumnya. La Tahzan ditulis dengan cara yang sangat simple, mudah dibaca, gampang dicerna dan dipahami oleh lapis masyarakat pembaca manapun. Tua-muda, terpelajar, mahasiswa, anak anak muda atau orang biasa. Laki atau perempuan. Tulisan-tulisan yang ada di dalamnya kebanyakan berupa artikel pendek, bahkan beberapa tulisannya yang sangat pendek. Namun karakter inilah yang kemudian membuat buku ini menjadi “berbeda”, spesifik dan pionir. La Tahzan mengajak pembacanya untuk tidak mesti membacanya dari awal baru kemudian pindah ke halaman berikutnya untuk bisa mengerti buku ini secara seksama. Tidak demikian. Pembacanya disuguhi “menu-menu swalayan” yang bisa diambil dan dibuka dimana saja dari tulisan-tulisan yang ada itu. Ini menjadi sebuah fenomena menarik karena pembaca akan senantiasa enjoy dan nikmat tanpa harus didoktrin untuk membaca sejak awal. Buka halaman mana saja dan Anda, para pembaca. akan disuguhi menu segar-inspirasi dan solusi.
Lalu apa sebenarnya yang membuat isi buku La Tahzan ini menjadi menarik. Menurut saya, sebagaimana disebutkan Al-Qarni, buku ini menjadi menarik karena ia dihadirkan untuk mencari kebahagiaan, melahirkan ketenangan, menyuguhkan kelapangan hati, membuka pintu-pintu optimisme, menyingkirkan kegundahan dan kesulitan serta membangun masa depan dengan kerja optimal di hari ini. Ya, hari ini. Buku ini berusaha untuk mengetuk pintu hati untuk senantiasa ingat rahmat dan ampunan Allah, menumbuhkan sifat-sifat baik di dalam jiwa, dan menyingkirkan sifat-sifat yang merusak kebahagiaan manusia.
Buku ini menjadi menarik karena didasari dengan ayat-ayat Al-Quran dan hadits Rasulullah yang selaras dengan tema bahasan, penuh tamsil yang indah, kisah-kisah yang syarat ibrah serta syair-syair yang kuat bernilai. Selain itu buku ini mengandung kutipan dari para sastrawan, para bijak bestari dari semua lapis zaman yang kemudian diramu indah oleh Al-Qarni. Ada cuplikan-cuplikan dari pengalaman beberapa orang yang menemukan kebahagiaan setelah mereka mampu bersikap positif dan hunuzh zhan dalam kehidupan ini.
Menariknya, kutipan itu bukan hanya dari kalangan muslim, namun juga dari kalangan non-muslim.
Buku ini adalah “ramuan” renyah tentang kimia kebahagiaan yang dihadirkan dengan cara paling sederhana, gampang dimengerti dan mudah dipraktekkan. Ramuan-ramuan dalam buku ini akan mengubah sikap kita tentang bagaimana mencapai dan menggapai bahagia melalui konsep-konsep Al-Quran, pandangan-pandangan Nabi, doa-doa yang mesti dipanjatkan.
Buku ini akan mengubah sikap kita akan makna bahagia yang selama ini mungkin salah dimengerti oleh sekian banyak orang. Yakni bahwa bahagia itu bisa didapat hanya melalui limpahan harta, bangunan megah dan tahta. Atau hanya dengan cara mengasingkan diri, tidak peduli pada dunia, anti-sosial dan asketisme. Kebahagiaan itu tidak akan ditemukan dari salah satunya, namun dia bisa didapatkan melalui keduanya dengan senantiasa mengendalikan kehidupan dunia untuk kepentingan akhirat. Menjadikan dunia sebagai sarana ibadah dan akhirat sebagai tempat tujuan.
La Tahzan akan mengikis kesedihan kita karena kita sadar bahwa sedih bukanlah solusi dalam hidup ini. Tak ada yang bisa diperoleh dari kesedihan selain merusak sikap mental kita, melemahkan spirit kerja kita, menjadikan kita menoleh ke masa lalu , lupa bekerja untuk hari ini dan menghambat kecemerlangan hari esok. Dalam sedih yang berlarut-larut juga akan membunuh potensi kreatif kita, mematikan enerji inovatif kita.
Bagi yang tidak ingin berlama-lama dan ingin membaca dengan instans isi dan kesimpulan maka bagian terakhir dari buku ini sangat membantu untuk mendongkrak semangat pencarian kita terhadap kebahagiaan hakiki. Bagian akhir yang merupakan kesimpulan dari buku ini memberikan wejangan-wejangan singkat, penuh nash dan sarat makna. Selamat mencoba.

Jumat, 22 Mei 2009

Karena Aku Mencinta Wanita

Oleh : Samson Rahman
Penerjemah Laa Tahzan Ayah Empat Anak

Malam menjelang larut. Saya sudah berbaring di kasur untuk segera tidur. Namun tiba-tiba isteriku memberikan map besar berwarna hitam yang tidak saya ketahui apa isinya. Saya bilang padanya biar besok saja dibukanya. Namun dengan manja dan setengah memaksa dia meminta agar map itu segera dibuka. Saya curiga, pasti ada yang sangat istimewa.
Karena aku mencintai wanita, maka segera aku membuka map hitam itu dengan sedikit berdebar. Isteri saya diam. Mungkin dia berdebar menunggu komentar apa yang akan muncul dari mulut saya yang biasanya suka meledeknya jika dia berbuat yang aneh-aneh. Saya buka halaman pertama. Saya terhentak. Ada tulisan besar-besar di kertas berwarna pink dalam bahasa Inggris berbunyi “To Remind Memorable Daya and Unforgotable Moments we Passed.” Yang kemudian di bawahnya dia tambahan dengan tulisan kecil “who love you so much.”
Ada pesan indah dari tulisan itu. Isteriku mencintaiku dengan sepenuh jiwa. Dengan segenap raga. Dengan segenap pikiran dan hatinya. Aku demikian gembira dan demikian lega. Kulirik isteriku. Tapi dia diam membisu. Hanya saya rasa bibirnya sedang menahan senyum indahnya tatkala saya membuka halaman pertama. Saya lanjutkan pada halaman kedua. Isinya lebih mengejutkan lagi,”My Lord, Unite our Love till hereafter, tie our heart with your love” yang kemudian dikhiri dengan “your poor slave”. Doa tulus pada Allah dia mohon agar cinta kita abadi. Cinta yang diikat oleh asmara karena Allah dan hati yang diikat oleh “cinta” Allah.
“Wonderfull. Syukron. Thank you. Syukriyah”, kataku setengah teriak. Namun isteriku segera menyilangkan jari di mulutnya. Saya paham dia menyuruhku bersuara pelan karena malam telah larut. Isteriku mulai tersenyum ada rona puas yang memancar dari wajahnya karena saya sangat apresiatif pada apa yang dia tulis. Pipinya merona merah.
Pada halaman ketiga dia selipkan surat undangan sederhana pernikahan kami yang akad dan resepsinya berlangsung pada tanggal 5 Juli 1997 dan 6 Juli 1997.
Halaman-halaman selanjutnya berisi kumpulan surat yang pernah saya kirimkan saat saya tinggalkan dia selama 2 tahun ke Pakistan untuk melanjutkan studi S2 di International Islamic Universtity Islamabad. Surat-surat itu demikian rapi dia bungkus dalam plastik-plastik map itu. Saya buka satu-satu. Ternyata semua surat yang saya kirim tidak ada yang dilewatkan. Sejak tahun pertama tiba di Pakistan sampai surat terakhir sebelum saya pulang ke Indonesia.
Ada dua hal paling menarik dari isi map. Pertama, selipan kata-kata mutiara yang isteri saya tuliskan di sela-sela surat itu. Semuanya berisikan keinginannya agar cinta kami padu. Kedua beberapa puisi “cinta” yang sengaja saya tulis untuk isteriku. Kata-kata mutiara yang dia tulis dalam bahasa Inggris itu mengandung motivasi yang membakar semangat cinta saya untuk senantiasa setiasa pada isteri saya, untuk senantiasa mencintainya : tanpa titik. Dia menginginkan senantiasa bersama saya dan saya menginginkan senantiasa bersamanya : Together Forever.
Ini bisa saya serap dari ungkapan-ungkapannya,”The Only Sweet Heart is here—SR. SR adalah inisial nama saya, Samson Rahman. You Are Always My Matter...Never Ended Love is Just For Your...Your Are My Everything...I am Nothing Without You... No One can be in my Heart but You... No Doubt You are My Hero.. Kak Son? Sure!! Ungkapan cinta yang bagi saya sangat luar biasa. Ungkapan kesetiaan yang btiada ternilai nilai dan harganya. Menggugah, membakar semangat saya. Meledakkan cinta saya.
Itu semua terjadi karena aku memang mencinta wanita. Saya mencintai isteriku dengan setulus jiwa. Bagiku dia adalah mutiara yang harus terjaga gemerlapnya. Dia adalah motivatorku dan bahkan menjadi guruku. Tatkala aku lupa dia yang mengingatkan, tatkala semangatku melemah dia yang membangkitkan. Tatkala bacaan Al-Quran saya melemah dia senantiasa memperdengarkan bacaan-bacaannya yang indah di dekatku yang sambil tiduran. Tatkala qiyamul lail saya melembek dia pula yang mengingatkan bukan dengan ucapan tapi dia lebih dahulu yang melakukan. Semangat to be together forever di dunia dan dia akhirat demikian aku rasakan dalam ritme pengabdian pada Allah, Tuhan semesta alam. Dia adalah patner hidupku dan bukan subordonasiku. Dia sejajar di hadapan Tuhan sebagai hamba-Nya dengan tugas-tugas yang mungkin berbeda dengan saya, sebagai suaminya.
Ita Maulidha, demikianlah nama isteri saya. Seorang isteri yang saya nikahi tanpa istikharah, karena begitu melihat pertama kali saya merasa tenang untuk segera menikah dengannya. Saya yakin bahwa thuma’ninah yang menjalar dalam hati saya adalah karunia Allah juga. Saya melihat hanya sekali, esok harinya ta’aruf, keesokannya meminang dan dua minggu setelah itu menikah.
Saya lakukan itu semua karena saya mencita wanita. Saya tidak ingin membuat wanita lama-lama menunggu dalam ketidakpastian pasangan hidupnya. Apa lagi jika diantara keduanya sudah ada benih cinta. Pacaran sering kali lebih banyak membuat wanita dilanda penyesalan daripada mengantarkan pada mahligai kebahagiaan. Pihak wanitalah yang sering menjadi korban. Karena banyak lelaki yang “tidak mencintai wanita” namun dia kerasukan asmara.
Diantara puisi yang ada dalam map itu berujudul :
Puisi untuk Isteriku
Isteriku,
Jika malam-malammu hadir tanpa hadirku
Hadirkanlan aku di relung terdalam kalbumu
Jika hari-harimu sepi tanpa hadirku
Ramainkanlah dengan kenangan manis yang lalu
Jika nafasmu tersengal tanpa hadirku
Legakanlah dengan isak tangis buat Tuhanmu
Jika kobaran rindumu membubung
Api rindumu berkobar
Kita kan segera gembira menyatu
Jika jerit jiwa mulai melengking
Sabarkalah dirimu bersama Al-Quran
Isteriku,
Anak-anak cinta kita akan selalu tumbuh dan mekar
Bersama waktu yang semakin memanjang
Islamabad, 4 Juni 1998
Karena aku mencinta wanita. Kutulis ini semua. Saya yakin sabda nabi bahwa sebaik-baik kekayaan adalah wanita salehah dan saya telah memilikinya.

Rangkasbitung, 3 September 2007

Selasa, 12 Mei 2009

Remaja Muslim, Valentine's Day, dan Perlawanan Budaya

Remaja Muslim, Valentine's Day, dan Perlawanan Budaya  

Setiap tanggal 14 Februari ada hiruk-pikuk remaja dunia. Mereka punya hajat besar dengan merayakan sebuah hari yang dikenal dengan Valentine's Day (hari Valentine). Hiruk-pikuk itu kini membudaya. Tak peduli itu di kalangan Kristen Barat, Hindu India, ataupun Muslim Indonesia.

Ada pertanyaan yang patut kita kemukakan. Apa sebenarnya Valentine's Day itu? Apakah esensinya? Dan, bolehkan remaja Muslim ikut berkecimpung merayakannya? Apakah perayaan itu bagian dari kultur dan peradaban Islam sehingga kita harus ikut menyemarakkannya?

Background Historis Valentine's Day

Ada berbagai versi tentang asal muasal Valentin's Day ini. Beberapa ahli mengatakan bahwa ia berasal dari seorang yang bernama Saint (Santo) Valentine, seorang yang dianggap suci oleh kalangan Kristen, yang menjadi martir karena menolak untuk meninggalkan agama Kristiani. Dia meninggal pada tanggal 14 Februari 269 M., pada hari yang sama saat dia mengungkapkan ucapan cinta. Dalam legenda yang lain disebutkan bahwa Saint Valentine meninggalkan satu catatan selamat tinggal kepada seorang gadis anak sipir penjara yang menjadi temannya. Dalam catatan itu dia menuliskan tanda tangan yang berbunyi From Your Valentine. Ada pula yang menyebutkan bahwa bunyi pesan akhir itu adalah Love From Your Valentine.

Cerita lain menyebutkan bahwa Valentine mengabdikan dirinya sebagai pendeta pada masa pemerintahan Kaisar Claudius. Claudius kemudian memenjarakannya karena dia menentang Kaisar. Penentangan ini bermula pada saat Kaisar berambisi untuk membentuk tentara dalam jumlah yang besar. Dia berharap kaum lelaki untuk secara suka rela bergabung menjadi tentara. Namun, banyak yang tidak mau untuk terjun ke medan perang. Mereka tidak mau meninggalkan sanak familinya. Peristiwa ini membuat kaisar naik pitam. Lalu apa yang terjadi? Dia kemudian menggagas ide "gila". Dia berpikiran bahwa jika laki-laki tidak kawin, mereka akan bergabung menjadi tentara. Makanya, dia memutuskan untuk tidak mengizinkan laki-laki kawin.

Kalangan remaja menganggap bahwa ini adalah hukum biadab. Valentine juga tidak mendukung ide gila ini. Sebagai seorang pendeta, dia bertugas menikahkan lelaki dan perempuan. Bahkan, setelah pemberlakuan hukum oleh kaisar, dia tetap melakukan tugasnya ini dengan cara rahasia dan ini sungguh sangat mengasyikkan. Bayangkan, dalam sebuah kamar hanya ada sinar lilin dan ada pengantin putra dan putri serta Valentine sendiri. Peristiwa perkawinan diam-diam inilah yang menyeret dirinya ke dalam penjara dan akhirnya dijatuhi hukuman mati.

Walaupun demikian, dia selalu bersikap ceria sehingga membuat beberapa orang datang menemuinya di dalam penjara. Mereka menaburkan bunga dan catatan-catatan kecil di jendela penjara. Mereka ingin dia tahu bahwa mereka juga percaya tentang cinta dirinya. Salah satu pengunjung tersebut adalah seorang gadis anak sipir penjara. Dia mengobrol dengannya berjam-jam. Di saat menjelang kematiannya dia menuliskan catatan kecil: Love from your Valentine. Dan pada tahun 496 Paus Gelasius menyeting 14 Februari sebagai tanggal penghormatan untuk Saint Valentine. Akhirnya secara gradual 14 Februari menjadi tanggal saling menukar pesan kasih, dan Saint Valentine menjadi patron dari para penabur kasih. Tanggal ini ditandai dengan saling mengirim puisi dan hadiah, seperti bunga dan gula-gula. Bahkan, sering pula ditandai dengan adanya kumpul-kumpul atau pesta dansa.

Dari paparan di atas kita tahu bahwa kisah cinta Valentine ini merupakan kisah cinta milik kalangan Kristen dan sama sekali tidak memiliki benang merah budaya dan peradaban dengan Islam. Namun, mengapa remaja-remaja Muslim ikut larut dan merayakannya? Ada beberapa jawaban yang bisa kita berikan terhadap pertanyaan tersebut. Pertama, kalangan remaja Muslim tidak tahu latar belakang sejarah Valentine's Day, sehingga mereka tidak merasa risih untuk mengikutinya. Dengan kata lain, remaja Muslim banyak yang memiliki kesadaran sejarah yang rendah. Kedua, adanya anggapan bahwa Valentine's Day sama sekali tidak memiliki muatan agama dan hanya bersifat budaya global yang mau tidak mau harus diserap oleh siapa saja. Ketiga, keroposnya benteng pertahanan relijius remaja Muslim sehingga tidak mampu lagi menyaring budaya dan peradaban yang seharusnya mereka "lawan" dengan keras. Keempat, adanya perasaan loss of identity kalangan remaja Muslim sehingga mereka mencari identitas lain sebagai pemuas keinginan mendapat identitas global. Kelima, hanya mengikuti tren yang sedang berkembang agar tidak disebut ketinggalan zaman. Keenam, adanya pergaulan bebas yang kian tak terbendung dan terjadinya de-sakralisasi seks yang semakin ganas. Mungkin masih ada deretan jawaban lain yang bisa diberikan terhadapa pertanyaan di atas.

Islam, Valentine's Day, dan Cinta

Bisa kita lihat pada bahasan di atas bahwa Valentine's Day merupakan peringatan "cinta kasih" yang diformalkan untuk mengenang sebuah peristiwa kematian seorang pendeta yang mati dalam sebuah penjara. Yang kemudian diabadikan oleh gereja lewat tangan Paus Gelasius. Maka, merupakan sebuah kurang cerdas jika kaum Muslim dan secara khusus kalangan remajanya ikut melestarikan budaya yang sama sekali tidak memiliki ikatan historis, emosioal, dan religius dengan mereka. Keikutsertaan remaja Muslim dalam "hura-hura" ini merupakan refleksi sebuah kekalahan dalam sebuah pertarungan mempertahankan identitas dirinya. Mungkin ada sebagian remaja yang akan bertanya: Kenapa memperingati sebuah tragedi cinta itu tidak boleh dilakukan? Apakah Islam melarang cinta kasih? Bukankah Islam menganjurkan pemeluknya kasih kepada sesama?

Tak ada yang menyangkal bahwa Islam tidak melarang cinta kasih. Islam sendiri adalah agama kasih dan menjunjung cinta kepada sesama. Dalam Islam cinta demikian dihargai dan menempati posisi sangat terhormat, kudus, dan sakral. Islam sama sekali tidak phobi terhadap cinta. Islam mengakui fenomena cinta yang tersembunyi dalam jiwa manusia. Namun demikian, Islam tidak menjadikan cinta sebagai komoditas yang rendah dan murahan. Cinta yang merupakan perasaan jiwa dan gejolak hati yang mendorong seseorang untuk mencintai kekasihanya dengan penuh gairah, lembut, dan kasih sayang dalam Islam dibagi menjadi tiga tingkatan yang kita tangkap dari ayat Al-Quran. "Katakanlah: Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, kerabat-kerabatmu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerusakannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu senangi lebih kau cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (At-Taubah: 24).

Dalam ayat ini menjadi jelas kepada kita semua bahwa cinta yang utama adalah cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan jihad di jalan-Nya. Inilah yang disebut dengan cinta hakiki. Cinta hakiki akan melahirkan pelita. Cinta hakiki yang dilahrikan iman akan senantiasa memberikan kenikmatan-kenikmatan nurani. Cinta hakiki akan melahirkan jiwa rela berkorban dan mampu menundukkan hawa nafsu dan syahwat birahi. Cinta akan menjadi berbinar tatkala orang yang memilikinya mampu menaklukkan segala gejolak dunia. Cinta Ilahi akan menuntun manusia untuk hidup berarti.

Islam memandang cinta kasih itu sebagai rahmat. Maka, seorang mukmin tidak dianggap beriman sebelum dia berhasil mencintai saudaranya laksana dia mencinta dirinya sendiri (HR Muslim). "Perumpamaan kasih sayang dan kelembutan seorang mukmin adalah laksana kesatuan tubuh; jika salah satu anggota tubuh terasa sakit, maka akan merasakan pula tubuh yang lainnya: tidak bisa tidur dan demam." (Bukhari dan Muslim). Seorang Mukmin memiliki ikatan keimanan sehingga mereka menjadi laksana saudara (Al-Hujarat: 13), dan cinta yang meluap sering kali menjadikan seorang Mukmin lebih mendahulukan saudaranya daripada dirinya sendiri, sekalipun mereka berada dalam kesusahan (Al-Hasyr: 9).

Di mata Islam mencintai dan dicintai itu adalah "risalah" suci yang harus ditumbuhsuburkan dalam dada setiap pemeluknya. Makanya Islam menghalalkan perkawinan. Islam tidak menganut "selibasi" yang mengebiri fitrah manusia, seperti yang terjadi dalam ajaran Kristen dan Hindu serta Budha yang menganut sistem sosial yang dikenal dengan kependetaan. Sebab, memang tidak ada rahbaniyah dalam Islam.

Valentine's Day yang merupakan ungkapan kasih yang bukan bagian dari agama kita, juga saat ini dirayakan dengan menonjolkan aksi-aksi permisif, dengan lampu remang, dan lilin-lilin temaram. Meniru perilaku agama lain dan sekaligus melegalkan pergaulan bebas inilah yang tidak dibenarkan dalam pandangan Islam.

Islam dan Perlawanan Budaya

Sebagai agama pamungkas, Islam dengan tegas memosisikan diri sebagai agama yang diridhai oleh Allah, dan siapa saja yang ingin mencari agama selain Islam maka agamanya tidak akan diterima (lihat Ali Imran ayat 19 dan 185). Dan, sebagai agama terakhir Islam telah melakukan beberapa pembenaran dari berbagai penyelewengan yang terjadi dalam agama Kristen dan agama Yahudi. Islam mengharuskan pemeluknya untuk membentengi diri dari semua budaya yang datang dari kalangan Yahudi dan Kristen. Kaum Muslimin harus memiliki budaya dan identitasnya sendiri yang bersumber pada norma dan ajaran agamanya.

Setelah kita mengetahui bahwa Valentine's Day sama sekali tidak memiliki kaitan sejarah dengan Islam, maka menjadi tugas semua remaja Islam untuk menghindari dan tidak ikut serta dalam sebuah budaya yang tidak bersumber dari ajarannya. Valentine's Day bukanlah simbol dan identitas remaja Muslim karena ia merupakan hari raya kalangan remaja Kristen. Dan kita persilahkan saudara-saudara kita dari remaja kalangan Kristen untuk merayakannya sesuai dengan keyakinan mereka.

Ada satu hadits yang sangat terkenal yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), "Barang siapa yang menyerupai sebuah kaum, maka dia menjadi bagian dari mereka." (HR Abu Daud). Hadits ini mengisyaratkan bahwa meniru-niru budaya-reliji orang lain yang tidak sesuai dengan tradisi Islam memiliki risiko yang demikian tinggi. Orang tersebut akan dianggap sebagai bagian dari orang yang ditiru. Sebagaimana juga firman Allah, "Barang siapa di antara kamu menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonga mereka." (Al-Maidah : 51). Sabda Rasulullah, "Kau akan bersama-sama dengan orang yang kau cintai." (Bukhari dan Muslim).

Banyak contoh yang bisa kita kemukakan dari kontra-kultural yang dilakukan Rasulullah saw. untuk mengokohkan identitas umatnya. Saat datang ke Madinah Rasulullah saw. melihat masyarakat bersuka ria dalam dua hari. Kemudian Rasulullah saw. bertanya, "Hari apa dua hari itu?" Para sahabat menjawab, "Dua hari tadi adalah hari ketika kami bermain-main dan bersuka cita pada masa jahiliyah!" Maka, bersabdalah Rasulullah saw., "Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian: Idul Adha dan Idul Fithri." (HR Abu Daud).

Rasulullah saw. misalnya melarang umatnya makan dengan tangan kiri karena cara itu adalah cara makan syaitan. Larangan Rasulullah terhadap peringatan 2 hari ketika orang-orang Madinah biasa bermain pada zaman jahiliyah merupakan perlawanan budaya terhadap budaya jahilyah dan digantikan dengan budaya-reliji baru. Sedangkan pelarangannya agar tidak makan dengan tangan kiri juga merupakan perang etika Islam dengan etika syaitan.

Allah tidak menghendaki kaum Muslimin menjadi "buntut" budaya lain yang berbenturan nilai-nilainya dengan Islam. Peringatan Allah pada ayat di atas membersitkan pencerahan pada kita semua bahwa Islam dengan ajarannya yang universal harus dijajakan dengan rajin kepada dunia. Mengenal Islam dengan cara yang benar dan agar Islam menjadi "imam" peradaban dunia kembali. Sebab, kehancuran peradaban Islam telah menimbulkan kerugian demikian besar pada tatanan normal manusia yang terkikis secara moral dan ambruk secara etika. Kemunduran peradaban Islam telah menjebak dunia pada arus kegelapan akhlak dan moralitas. Kehancuran peradaban Islam ini oleh Hasan Ali an-Nadawi dianggap sebagai malapetaka terbesar dalam perjalanan peradaban manusia. Dia berkata, "Kalaulah dunia ini mengetahui akan hakikat malapetaka ini, berapa besar kerugian dunia dan kehilangannya dengan kejadian ini, pastilah dunia hingga saat ini akan menjadikan kemunduran kaum Muslimin sebagai hari berkabung yang penuh sesal, tangis, dan ratapan. Setiap bangsa di dunia ini akan mengirimkan tanda berduka cita.

Apa yang menimpa remaja Muslim saat ini tak lebih dari dampak keruntuhan peradaban Islam yang sejak lama berlangsung. Remaja Muslim masa kini yang "buta" terhadap peradabannya sendiri disebabkan karena adanya serangan budaya yang gencar menusuk jantung pertahanan budaya kaum Muslimin. Kemampuan mereka untuk bertahan dengan ideal-ideal Islam yang rapuh menjadikan mereka terseret arus besar peradaban dunia yang serba permisif, hedonis, dan materialistik. Lumpuhnya pertahanan mereka terhadap gencarnya serangan budaya lain yang terus menggelombung menjadikan mereka harus takluk dan menjadi "budak" budaya lain. Maka, sudah saatnya bagi remaja Muslim untuk memacu diri melakukan gerilya besar dengan mengusung nilai-nilai Islam. Sehingga dia mampu mengendalikan diri untuk tidak terpancing, apalagi larut dengan budaya-reliji lain. Generasi muda Muslim hendaknya mampu membangun benteng-benteng diri yang sulit ditembus oleh gempuran-gempuran perang pemikiran yang setiap kali akan mengoyak-oyak benteng pertahanan imannya.

Perlawanan budaya ini akan bisa dilakukan jika remaja Muslim mampu mendekatkan dirinya dengan poros ajaran Islam dan mampu melakukan internalisasi diktum-diktum itu ke dalam kalbu, dan sekaligus terkejawantahkan ke dalam aksi. Remaja Muslim yang mampu menjadikan keimanannya "hidup" akan mampu bergumul dan bahkan memenangkan pertarungan yang sangat berat di hadapannya. Remaja Muslim yang dengan setia menjadikan Al-Qur'an dan hadits sebagai panduan hidupnya akan mampu menjadi seorang Muslim tahan banting dan imun terhadap virus budaya global yang mengancam identitasnya. Seorang remaja Muslim yang menjadi the living Quran akan mampu melakukan kontra aksi terhadap semua tantangan yang dihadapinya. Dia akan mampu menangkis serangan informasi satu arah yang kini datang dari Barat.

Apa yang mesti dilakukan oleh kalangan muda Islam di zaman serba kompleks ini? Dalam pandangan saya, tidak ada yang lebih baik untuk dilakukan, kecuali kita semua kembali merapatkan jiwa dan kesadaran kita ke akar norma agama kita sendiri, lalu kita gali sedalam-dalamnya, kita renungkan semaksimal mungkin, kita aplikasikan dalam hidup ini. Dan, kita pasarkan ajaran-ajaran Islam itu dengan sepenuh raga dan jiwa. Hanya dengan spirit berjuang yang tinggi dan komitmen yang kuat, remaja Muslim akan lahir kembali dalam sosok yang cemerlang dengan Islam sebagai panji.

Ciri Umat Pertengahan

oleh : Samson Rahman, MA

Sebuah kehormatan bagi umat Islam, karena Allah mendeklarasikan bahwa umat ini hadir sebagai ummatan washatan (umat pertengahan), ummat moderat. Umat yang adil dan pertengahan, anti terhadap semua sikap ekstrem dan tindakan yang melampaui batas. Adalah suatu yang niscaya bahwa umat ini harus memposisikan diri sebagai umat yang menawarkan jalan tengah bagi semua urusan manusia. Umat Islam dengan segala potensi ajarannya yang mengagungkan dan menjunjung tinggi moderasi adalah satu umat yang saat ini sedang ditunggu perannya di pentas dunia. 


Umat Islam diharapkan berkontribusi positif dalam memberikan solusi terhadap kerumitan kemanusiaan yang saat ini sedang menggelinding liar. Peran besar mereka dalam sejarah perjalanan umat manusia memang telah terbukti dan menjadi legenda yang paling diminati sejarawan dunia. Umat Islam telah membuktikan bahwa kandungan ajaran yang ada dalam Alquran telah menjadi petunjuk yang luar biasa untuk menata dan meniti kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Hadis-hadis Rasul telah mampu memberikan inspirasi dan petunjuk yang membuat umat ini senantiasa berjalan mantap di panggung dunia. 

Moderasi Islam telah melahirkan sebuah peradaban besar dengan spektrum yang luar biasa mencengangkan dunia. Kaidah-kaidah ajaran Islam yang menampilkan moderasi dalam formatnya yang paling indah telah menjadikannya sangat mudah diterima oleh setiap lapisan manusia. 

Moderasi dalam Islam telah memberikan ‘jaminan’ ruang hidup abadi pada ajaran agama ini hingga akhir zaman. Keajegan pokok dan kelenturan dalam cabang ajaran Islam, menjadikannya akan senantiasa mampu beradaptasi dengan situasi apapun di segala zaman dan waktu. Ajaran-ajaran pokok yang ajeg dan cabang-cabang yang fleksibel telah memberikan ruang yang demikian lebar bagi adanya ijtihad dalam Islam sehingga bisa dipastikan ajaran ini tidak mengalami kejumudan. 

Moderasi Islam yang built in dalam dirinya ini Allah janjikan akan menjadikan agama ini menjadi lebih unggul atas agama manapun, dan atas ideologi apapun yang diproduksi oleh manusia. Allah dengan sangat gamblang ‘mengagendakan’ umat ini untuk menjadi umat penengah, dengan bekal moderasi ajaran yang ada di dalamnya. 

Islam sangat menentang sikap ekstrem dalam bentuk apapun. Sikap ekstrem akan menimbulkan dampak negatif bagi individu, keluarga, masyarakat, negara, dan dunia. Sikap ekstrem dalam beragama juga akan memberikan dampak negatif terhadap agama itu sendiri dan akan menimbulkan bencana ke luar agama tadi. Ekstremisme akan menyebabkan agama, dan biasanya dituduhkan kepada Islam, menjadi pihak tertuduh munculnya disharmoni di tengah-tengah masyarakat. 

Ekstremisme adalah sikap antimoderasi dan tidak memiliki tempat dalam norma, doktrin, wacana dan praktik Islam. Ektremisme adalah musuh bersama dan sangat ditentang oleh Islam. Moderasi inilah yang akan menampilkan Islam dengan wajahnya yang damai yang menebarkan rahmat pada semesta. Moderasi Islam senantiasa menekankan keseimbangan antara dunia-akhirat, ruh-jasad, pikir-hati, langit-bumi. 

Ada perkembangan dan pertarungan pemikiran di dunia Islam yang senantiasa dinamis dan pasang surut bersamaan dengan makin meluasnya spektrum interaksi ajaran Islam dengan peradaban dan budaya lain. Dalam perkembangannya, dinamisme pemikiran Islam ini sering mengalami benturan besar di antara pemikiran-pemikiran yang ada. Namun secara garis besar, benturan pemikiran Islam itu terpolarisasi pada dua kutub pendekatan yang sama-sama ekstrem. Pertama, pendekatan pemikiran overtekstualis yang tidak memberikan ruang pada ranah ijtihad dan aktualisasi rasio sehingga menghasilkan kejumudan yang cenderung mengebiri rasionalitas sebagai karunia Allah yang besar. 

Kecenderungan pemikiran overtekstualis ini telah menyulitkan dinamisme-interaktif Islam dengan dunia yang terus berkembang dan modern. Pemikiran ini juga akan melahirkan romantisme berlebihan pada masa lalu tanpa melihat realita masa kini. Pengkebirian rasio dalam kadar yang overdosis mematikan kreasi-kreasi ijtihad dan akan menenggelamkan kita dalam ‘keheningan masa lalu’ yang gemerlap. Pendekatan pemikiran semacam ini, selain berbahaya juga akan menjadi ancaman sangat destruktif bagi dinamisme Islam dan kemampuan adaptatifnya terhadap modernisasi. 

Pendekatan pemikiran kedua yang juga tak kalah ekstrem adalah pendekatan overrasionalis yang menjadikan rasio sebagai hakim terhadap teks-teks suci. Penggunaan rasio yang overdosis ini berakibat pada pengebirian dan kenakalan-kenalan rasionalitas terhadap teks. Ini berasal dari adanya upaya penyelarasan teks dengan dinamisme zaman dan perkembangannya yang demikian pesat. 

Dari rahim pendekatan pemikiran semacam ini telah melahirkan liberalisme pemikiran yang dahsyat yang sering kali bukan hanya tidak sesuai dengan teks namun juga berisi gugatan-gugatan. Liberalisme pemikiran ini berujung pada adanya ketidakpercayaan bahwa teks-teks suci itu mampu mengakomodasi perkembangan dunia modern yang serba kompleks. Pendekatan semacam ini selain membahayakan Islam dan akan membuat Islam kehilangan orisinalitasnya, pada saat yang sama akan melahirkan gelombang-gelombang gugatan terhadap teks. 

Karakter Islam moderat 
Ada beberapa ciri dasar Islam moderat yang menjadi landasan pengambilan sikap dalam kehidupan. Pertama, pemikiran Islam moderat tidak menjadikan akal sebagai hakim sebagai pengambil keputusan akhir jika yang menjadi keputusan itu berseberangan dengan nash. Namun demikian, pemikiran tersebut juga tidak menafikan akal untuk bisa memahami nash. 
Kedua, pemikiran Islam moderat memiliki sikap luwes dalam beragama. Ketiga, pemikiran Islam moderat tidak pernah mengkuduskan turats (khazanah pemikiran lama) jika jelas-jelas ada kekurangannya. Di saat yang sama, pemikiran ini juga tidak pernah meremehkannya jika di dalamnya ada keindahan-keindahan hidayah. Keempat, pemikiran Islam moderat merupakan pertengahan di antara kalangan filsafat idealis yang hampir-hampir tidak bersentuhan dengan realitas dan jauh dari sikap pragmatis yang sama sekali tidak memiliki idealisme. Kelima, pemikrian Islam moderat adalah sikap pertengahan. Pemikiran Islam moderat bersikap lentur dan senantiasa adaptatif dalam sarana namun tetap kokoh dan ajeg sepanjang menyangkut masalah prinsip. 

Keenam, pemikiran Islam moderat tidak pernah melakukan pembaruan dan ijtihad dalam hal-hal yang bersifat pokok serta jelas dalam agama dan merupakan masalah-masalah qath’i. Islam moderat juga tidak setuju dengan sikap taklid berlebihan sehingga menutup pintu ijtihad. Ketujuh, pemikiran Islam moderat tidak pernah meremehkan nash. 

Kedelapan, pemikiran Islam moderat berbeda dengan sikap orang-orang yang hanya mendengungkan universalisme tanpa melihat kondisi dan keadaan setempat. Kesembilan, Islam moderat tidak berlebihan dalam mengharamkan sesuatu dan tidak berani menghalalkan sesuatu yang jelas haram. Kesepuluh, pemikiran Islam moderat terbuka terhadap peradaban manapun namun akan senantiasa mampu mempertahankan jati dirinya. 

Ikhtisar 
- Dengan sangat baik, Allah SWT telah menempatkan umat Islam sebagai umat pertengahan, atau moderat. 
- Sebagai umat yang moderat, kaum Muslim menolak ekstremisme dalam segala hal. 
- Pemikiran umat Islam yang moderat juga membuka kemungkinan adanya pembaruan serta ijtihad, tanpa secara overdosis menafsirkan teks-teks suci semaunya sendiri. 
- Dengan posisi di tengah, umat Islam menjadi jembatan bagi berbagai titik ekstrem.